Merespons kenaikan kasus Covid-19 di masa libur Natal dan Tahun Baru, DPRD DKI Jakarta tak menyarankan perpanjangan Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB) Transisi. Sementara, pakar meminta pendirian rumah sakit (RS) darurat.
"Bentuk PSBB apapun, kalau pengawasannya enggak ketat, ya sama aja. Cuma pengawasannya mesti ditambah dalam waktu libur," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik, kepada wartawan, Sabtu (26/12).
Ia pun meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperketat pengawasan terhadap warga di area-area yang potensial terjadi kerumunan selama periode libur Natal dan Tahun Baru 2021, seperti mal dan pasar tradisional.
Sekali lagi saya ingatkan Pemda DKI karena dalam masa libur ini, pertama pengawasan harus dijaga lebih ketat terhadap sarana tempat berkumpul masyarakat dalam waktu libur ini," kata dia.
Kalau hari biasa, mungkin orang yang bergeraknya tidak sebanyak orang pada hari libur. Pengawasan di setiap sentra berkumpul masyarakat itu mesti diutamakan," ujarnya menambahkan.
Taufik menilai dalam beberapa waktu terakhir pengawasan oleh Pemprov DKI mulai mengendur. Sementara di sisi lain, ia memaklumi jika warga sudah mulai jenuh jika terus berada di rumah.
"Masyarakat kita maklumi juga udah capek. Udah sembilan bulan lebih, maka itu faktor pengawasan menjadi penting," tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperpanjang PSBB Transisi yang berlaku sejak 21 Desember 2020 hingga 3 Januari 2021.
Terpisah, Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko meminta pemerintah daerah untuk membangun rumah sakit darurat guna menahan laju kematian akibat Covid-19.
Menurutnya, pasien Corona yang meninggal pada umumnya memiliki gejala berat atau mempunyai penyakit penyerta alias komorbid. Sementara, rumah sakit khusus Covid-19 dikabarkan penuh pasien bergejala berat.
"Faktor utama kasus meninggal itu, kasusnya banyak dan rumah sakitnya penuh, untuk itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus meningkatkan fasilitas kesehatan darurat, penambahan RS di daerah, termasuk nakes dan fasilitasnya," kata Miko Sabtu (26/12).
Ia juga tidak memungkiri penyebaran kasus Covid-19 terkait dengan perilaku masyarakat yang enggan melakukan tes Covid-19. Hal itu membuat banyak orang tanpa gejala (OTG) tak terlacak.
Positivity rate kita masih di atas 10 persen, jadi penyebaran masih masif, mungkin karena OTG tidak terdiagnosis, ada di masyarakat, takut ditemukan pemerintah, takut diisolasi, takut dimakamkan tidak oleh keluarga jadi banyak kasus yang diam di masyarakat," jelas Miko.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane merasa aneh melihat Rujmah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet di Jakarta diperuntukkan bagi isolasi OTG.
Menurutnya, dengan kondisi seperti saat ini, RSD Wisma Atlet semestinya digunakan untuk merawat pasien bergejala sedang-berat agar bisa membantu ketahanan rumah sakit di Jakarta.
Jakarta ngapain ada RS darurat untuk pasien tanpa gejala atau ringan, mendingan itu untuk pasien dengan gejala sedang dan parah. Jadi RS darurat bisa ditingkatkan fasilitasnya untuk pasien yang membutuhkan," kata Masdalina.
Persentase kasus kematian Covid-19 di Indonesia sendiri masih tinggi, yakni 3 persen. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan standar kasus kematian di bawah 2 persen dari kasus konfirmasi positif.
Sebelumnya, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito sempat menyinggung keterisian rumah sakit di beberapa daerah di Indonesia mencapai 80 persen menjelang libur Natal dan Tahun Baru.
Berdasarkan keterisian bed rumah sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar (RSSA) Kota Malang mencapai 85 persen, keterisian ICU di Tangerang Selatan mencapai 86 persen, dan tempat tidur rawat inap di DKI Jakarta untuk pasien Covid-19 mencapai 85 persen.